Social Icons

Pages

Featured Posts

Senin, 07 Agustus 2017

Rentetan Tanya Dalam Hidup ~ Part 4

“cubby , nanti pulang sekolah temenin aku ya ? “ pintaku pada Tifa sewaktu di kelas.
“ kemana dy ?” jawabnya
“ nyari kado buat ibu, mau nggak ? “
“ oo ibu kamu mau ulang tahun ?  iya iya aku temenin.” Jawaban Tifa yang membuatku tersenyum lebar.
“ makasih cubby.”
“iya sama – sama moody”
****
“ kok bus nya lama sih ?” tanyaku pada Tifa sepulang sekolah.
“ iya nih. Eh itu ada dy ,tapi penuh.” Kata tifa sambil menunjuk ke arah bus.
“ naik itu aja deh, keburu sore” pintaku
“  ya udah ayo “ Tifa lalu menyeret tanganku ketika bus sudah berhenti di depan kami.
“  itu ada satu kursi kosong , buat kamu aja deh  “ kataku setelah di dalam bus
“ terus kamu gimana ? “
“ gampang , aku berdiri aja. Cepetan keburu di pakai orang. ” perintahku ,kami pun segera berjalan ke arah kursi barisan belakang. Aku berdiri di samping Tifa.
“ hati – hati ya moody “ tifa mengingatkanku.
Kurang lebih perjalanan 5 menit tiba- tiba supir bus berhenti mendadak bertepatan ketika aku berusaha mengambil dompet dari dalam tasku dan saat itu aku tidak berpegangan. Aku pun terpental ke depan.
“Deg ....”  sebuah tanggan menahanku, sejenak tatapan mata kami bertemu.
“ Maaf .” ucapku,lalu segera melepaskan diri.
“Iya,  maaf seharusnya aku tak menyentuhmu. Tetapi tidak mungkin aku membiarkanmu terjatuh.” Jawab lelaki itu gugup.
“ terimakasih “ kataku, sambil tesenyum. Iya pun mengangguk dan membalas senyumanku, tetapi ia tetap menjaga pandangan matanya. “sepertinya  lelaki yang baik”  kataku dalam hati
“ silahkan duduk “ tiba – tiba laki – laki itu mempersilahkanku duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati.
“ tapi kamu ?” tanyaku ragu
“aku berdiri saja”jawabya
“sekali lagi terimakasih “ ucapku
“sama – sama “ jawabnya ramah.
“ kamu baik – baik saja kan dy ?” tanya tifa kemudian dari belakangku.
“ Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat .” kataku, menghembuskan nafas lega.
“syukurlah “ kata Tifa
Diam – diam di sepanjang perjalanan aku memperhatikan lelaki itu. Badanya tinggi tegap , wajahnya manis dan penuh karisma, tatapan matanya di balik kacamatanya terlihat optimis memandang ke depan , dari raut wajahnya dia dua sampai tiga tahun lebih tua dariku.
“Ayo dy?” kata Tifa membuyarkan lamunanku.
“ha?” jawabku refleks
“ ayo, sudah sampai, di mol itu kan ? “ tanya Tifa meyakinkan
“oh iya, stop pak” teriakku pada sopir bus kemudian. Kami segera menuju pintu keluar.
“silahkan duduk kembali dan sekali lagi terimakasih “ kataku lalu tersenyum sewaktu melangkah di depan lelaki itu dan ia pun tersenyum.
***
“dy ,emang kamu mau cari kado apa buat ibu mu ? “ tanya Tifa sewaktu di dalam mol.
“ pengennya sih gamis.”
“ kalau gitu di lantai dua “ kata Tifa sambil melangkah menuju eskalator.
“ bantu pilih yang bagus dan cocok buat ibu aku ya?” pintaku
“ siap nona” kata tifa sembari tertawa.
Setelah lama melihat berbagai model gamis aku tertarik pada sebuah gamis berwarna unggu muda,dengan perpaduan warna dan corak yang menarik,lalu kutunjukkan pada  Tifa.
“menurut kamu gimana cubby? “ kataku meminta saran kepada Tifa
“ wahh , bagus .cantik deh.”  Puji tifa sambil memutar- mutar  gamis tersebut.
“ ambil yang ini ya ?” kataku kemudian setelah melihat harganya cocok dengan uang yang aku miliki.
“iya” katanya masih tetap memutar- mutar baju tersebut.
“ mbak ambil yang ini” kataku sesampainya di kasir. Tak lama kemudian Petugas kasir menyerahkan gamis tersebut yang telah di bungkus.
“lho kok dompetku gak ada by?” tanyaku panik sembari membolak balik isi tasku.
“kok bisa dy? Coba aku bantu cari” kata Tifa dengan mimikyang terlihat ikut panik dan membantu mencari dompetku
“Asstaughfirullah by, jangan – jangan jatuh di dalam bus saat aku hampir jatuh tadi ? aduh, gimana donk?” tanyaku panik
“aduh dy , aku gak punya uang segitu. Jatah uang jajanku masih tiga hari lagi.ini aja Cuma ada seratus “ kata tifa sembari menggecek dompetnya.
“ gimana mbak? Jadi beli atau tidak ?” tanya petugas kasir yang binggung melihat kami.
“adu mbak dompet saya hilang “ kataku gugup
“ terus gimana ? “tanyanya memastikan
“ kalau ditinggal di sini dulu gimana mbak, saya janji pasti saya bayar,paling lambat besok siang. Tolong ya mbak ya?” pintaku,
“Aduh,, gimana ya ?”
‘tolonglah mbak,itu buat kado ibu teman saya lho mbak” kata tifa ikut membujuk penjaga kasir
“ ya udah deh, tapi janji besok siang sudah harus di ambil, “
“ iya mbak. Makasih banyak ya mbak” Jawabku.
“aduh gimana donk by ?” tanyaku panik sesudah keluar dari mol.
“ aku juga binggung dy, aku juga lagi gak punya uang,” jawabya ikut panik.
“ ya Tuhan kenapa aku bisa seceroboh ini,” keluhku pelan
“cari kerja aja dy?” usul tifa bersemangat
“tapi kerja apa? Ulang tahun ibu kan tinggal besok pagi ?”
“serabutan aja, aku bantuin deh. Jangan pesimis gitu donk, yakin kalau kamu bisa. Gimana setuju gak ?”katanya bersemangat.
“ya udah deh. Tapi kerja apa ? “ tanyaku masih binggung. Kami berjalan terus tanpa tujuan.
“ em ,,eh itu liat deh ?” kata Tifa sembari menunjuk ke arah kertas yang tertempel di pohon
“oh iya ini lowongan kerja, coba aja yuk.”
“oke”

BERSAMBUNG

Rentetan Tanya Dalam Hidup ~ Part 3

Sepulang sekolah ku jalan kan rutinitasku seperti biasanya. Tiba tiba mataku tergoda untuk melihat lipatan kertas putih yang berada di gudang. Ku ambil lalu kubuka lipatan kertas itu.
“aku kah ini ?” tanyaku pada diri sendiri dengan mata yang berkaca – kaca. “Sepolos ini kah aku dahulu? Aku rindu kisah dahulu, hidup tanpa berfikir apa yang akan terjadi esok, tak peduli dengan  segala kejamnya dunia yang akan terjadi, bahkan mungkin aku tak akan hidup dalam tanda tanya seperti ini.” Aku terus menanggis , hingga senja pun datang menghampiri. Ingin kucurahkan segala tanya yang ada dalam hidupku. Aku tak mengerti , sampai kapan aku akan terus seperti ini. Terkadang aku iri, melihat yang lain bahagia. Bersanding dengan ayah , ibu. Sedangkan aku ? Memiliki ayah dan ibu yang tak bersanding dengan ku. Aku tak pernah melihat sosok ayah, ia telah pergi untuk selamanya meninggalkanku sendiri bersamaan dengan kakak laki – laki ku yang belum pernah ku lihat wajahnya, bahkan sekedar melihat di foto pun aku tak pernah. Sedangkan ibu, ialah satu – satunya orang yang paling aku cintai, tapi beliau tak pernah menunjukkan rasa sayangnya sedikitpun terhadapku, meski tinggal dalam satu atap kini kami bagaikan tinggal di lain benua tanpa ada alat komunikasi. Aku ingin merasakan canda tawa dalam keluarga, aku rindu belaian ibu saat aku menanggis merengek sewaktu kecil, aku rindu pelukan mereka saat aku merasa kedinginan. Ingin ku ulang kembali masa – masa itu, masa – masa indah bersama mereka. Bahkan aku rela tak merasakan indahnya masa remaja. Masa yang katanya paling menyenangkan, masa- masa emas yang hanya dapat dirasakan seumur hidup, namun tidak bagiku.
“Sudahlah ica, percuma kau menanggis, merengek seperti anak kecil. Terima kenyataan.”kata hatiku memenangkanku “Tapi apa salahku? Mengapa aku harus seperti ini ? bahkan kehadiranku di sini tak pernah ada yang menginginkan. Kini aku pun tak dianggap. Sehina apakah aku? Sampai orang - orang tak mempedulikanku ?” aku tersimpuh, tak mampu menahan pertanyaan -  pertanyaan itu.
Aku tau aku memang masih terlalu manja untuk menghadapi semua ini. Bahkan aku tak pernah mengerti akan semua ini. Aku berusaha bangkit dan keluar dari gudang dan  segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan air mataku, aku tak ingin terlihat cengeng. Sebenarnya aku tak perlu takut akan ada yang melihat ku menangis, karna memang tak kan ada yang memperhatikanku . Lagi pula jika ada yang tau aku menangis tetap tak kan ada yang mempedulikanku. Mungkin justru akan mentertawakanku. Sesampainya di kamar tak sengaja aku melihat kalender yang tertempel di dinding kamarku.
“ 12 September, dua hari lagi ibuku ulang tahun. Apa yang akan kulakukan ?” tanyaku dalam hati. “Kado apa yang pantas aku berikan untuk ibuku ? ” aku termenung memikirkan kado apa yang akan aku berikan kepada ibuku. Aku fikir gamis adalah pilihan yang tepat , dan aku rasa tabungan ku cukup untuk membeli gamis dan bahan untuk membuatkan kue ulang tahun ibuku .
Segera ku buka tabunganku yang berada dalam celengan ayam yang sudah satu semester ku kumpulkan dari hasil jerih payahku sendiri. Mataku berbinar – binar melihat lembaran – lembaran uang kertas yang kini berserakan di lantai kamarku. Segera ku hitung uang yang berada di depanku. Aku tersenyum puas melihat hasil hitunganku.

“ 455 ribu, ini lebih dari cukup ,untuk sebuah baju gamis ,kue ulang tahun dan mungkin aku masih mampu membeli novel kesukaanku.” Aku segera membayangkan apa yang akan kulakukan.

Rentetan Tanya Dalam Hidup ~ Part 2

Pagi ini kurasakan seperti biasanya,,tiada yang berubah, masih tetap sepi,kelam dan sunyi. Terkadang aku bertanya, adakah insan sepeti aku ?  Lagi - lagi pertanyaan bodoh yang ada. Beginilah aku, hidup di dalam dunia yang selalu penuh tanda Tanya. Dari mulai terbukanya mata hingga terlelap, selalu pertanyaan yang setia menemaniku. Bukan karna aku tak punya teman, tetapi entah mengapa aku masih merasa sepi. Bukan kasih sayang teman, ataupun kekasih yang ku cari.
Aku layaknya seorang remaja biasa yang terlahir seperti pada umumya, dengan tinggi semampai yang termasuk di atas rata - rata untuk usia 17an sepertiku, buktinya aku diterima ikut paskibraka tahun lalu, walaupun akhirnya aku mengundurkan diri, kulit kuning langsat. Hidung yang menurut banyak orang  mancung dan seperti milik ayahku. Toh itu hanya kata orang karena aku tak pernah tau seperti apa ayahku. Aku hanya melihat sekilas dari foto milik ibu itupun butuh perjuangan untuk melihatnya, bahkan aku rela dicaci maki ibuku. Entah mengapa ibu tak pernah mengizinkanku melihat foto ayah. Aku tak pernah terlahir berbeda, mungkin hanya nasib yang membedakanku dengan yang lain.
“Heii” sapa tifa, teman terbaikku
Aku hanya tersenyum memandangnya. Belum ada kata yang terucap dari bibirku sejak pagi ini.
“Novelnya mana? “ Tanyanya
“itu “ jawabku singkat sambil menunjuk pada buku yang dimaksud.
“Keluar sebentar yuk ? ” ajaknya
“ malas ah”
“ayo lah. Bosan di kelas terus. Please  “ pintanya memohon,
bailkah
“ke kantin ya? “ ajaknya, lagi lagi aku hanya tersenyum dan menggangguk.
***
“dia? “ tanyaku dalam hati saat dalam perjalanan menuju kantin.
Aku tak salah melihatnya, itu memang dia. Aku melihatnya, dan ternyata ia juga melihatku. Ia tersenyum, lalu menyapaku “Delica”
Dan lagi lagi aku hanya tersenyum. Tetapi kali ini ada sedikit udara sejuk yang perlahan menyusup ke relung  hatiku.
“ ciee…. “ ledek tifa yang mengetahui aku dengannya, tifalah satu satu nya orang yang mengetahui perasaanku dengannya, tetapi aku dan Tifa tak mengetahui perasaannya terhadapku.
“ Apaan sih , udah sana pesenin makanan buat aku sekalian” sanggahku.
“ iya iya moody” lagi lagi ia meledekku.
“dia suka nggak sih? tanyaku dalam hati “sudah ica tidak usah ge-er “ kata hati memenangkan.
“ini ,, nona moody pesananya” kata tifa sembari memberikanku semangkok soto dan segelas es teh.
“terimaksih cubby “
“ e ciiee yang abis dapat vitamin langsung fresh kaya gitu.”
“ sudah sudah makan dulu sana.haha

Terkadang jika kesibukkan menghampiri aku sering melupakkan ribuan Tanya yang ada dalam benakku.

Rentetan Tanya Dalam Hidup~ Part 1

Semilir angin terasa dingin di kulit

Membuat bulu kuduk ku berdiri

Raja siang telah lama meninggalkanku disini

Berganti dewi malam yang nampak malu malu menampakkan dirinya

Sepi...

Sunyi...

Kurasakan kesendiran yang ada

Menunggu hadirmu...

Bintang – bintang  terang yang sedari tadi kutunggu

Namun tak kunjung datang

Mungkinkah ia meninggalkanku

Seperti yang lain?

Selalu kutanyakan itu

Pertanyaan bodoh yang tak kan pernah ku temukan jawabnya

Bahkan aku sendiri tak pernah mengerti

Kepada siapa akan kutanyakan

Mungkinkah kepada rangkaian kebingungan ?

Atau mungkin pada diri yang tak pernah mengerti.

Aku masih terdiam di bawah langitMu

Menunggu jawab dariMu.”



“Dia datang” teriakku dalam hati melihat bintang yang ku tunggu menampakkan dirinya.
Bukan,
bukan dia yang ku tunggu, bintang yang kutunggu tak kan pernah ada. Apa yang kulihat hanyalah bayangan gelisah kerinduan yang ada. Kecewa...lagi lagi aku tak menemukannya. Atau mungkin aku takkan pernah menemukannya. Lima tahun sudah aku menunggumu, bintang bersinar yang akan menemani kesendiriannku. Dingin yang kurasakan tak kan pernah menghalangi penantianku.

Syukur


Bila ku ingat kemarin

Rasanya aku ingi mati

Tercekik oleh tangan sendiri

Melihat sepasang mata berdiri di disudut lampu kota

Bersepatu kulit yang mendaging

Bertopi rambut ikal

Kulihat lincah tanganmu

Mecari sesuap nasi dibalik sampah ibu kota

Berbinar mata menatap kotak digenggaman

Kotak putih yang bagi mereka sampah

Bagimu ialah anugrah

Goyangan pipi kecilmu

Mengunyah rakus sisa – sisa nasi yang terbuang

Sedikit sesak nafasku melihat hal itu

Betapa sering aku membuang buang makan

Memilih – milih dalam mengenyangkan perut

Saat itu aku sadar

Aku jauh lebih beruntung dari mereka

Meski ku tahu banyak yang lebih beruntung dari ku

Tetapi

Mampu bersyukur adalah nikmat terindah dalam kehidupan

Karena di atas langit masih ada langit

Dibawah tanah masih ada tanah



Aku Bukan Mereka

Aku memang bukan juru bicara

Bicara menghadap manusiapun kaku

Aku bukan sang pendengar

Melamun lebih menyenangkan

Aku bukanlah si ramah

Menyapa kala berjumpa

Aku memang pelupa          

Namun aku tak mudah melupakan

Dalam diamku

Dalam lamunku

Dalam mimpi yang selalu aku inginkan

Aku tak pernah melupakan insan  yang pernah ada dalam kehidupanku

Aku mudah memaafkan

Tetapi aku tidak melupakan hal – hal yang menyakitkan

Aku bukan seperti mereka yang bisa membuat kalian tertawa

Tetapi ketahuilah aku yang paling ingat kapan kamu dilahirkan


Tak Mampu Menggenggam



Apabila semua berawal dari waktu

Salahkah diri yang memulainya dari tatap

Apabila mereka berusaha meraih

Salahkan diri yang berusaha memendam

Pabila angin berhembus

Salahkan angin yang memutar                          

Pabila daun tak pernah membenci angin

Salahkan diri membenci hati yang mencinta

Bila angan hanyalah harapan kosong

Biarkan mimpi melebur bersama waktu

Mengalir dan mencengkram laksana akar kehidupan

Mencintai tak harus memiliki

Bila cinta harus tentang memiliki

Bagaimana kau akan mencinta apa yang tak mampu kau genggam

Ia hanyalah kata tentang merelakan

Mengikhlaskan sayap yang mencoba terbang

Tersenyum manis kala duri menancap dalam diri

Tertawa mengikuti tangis kehidupan



 

Sample text

Sample Text

Sample Text