Sepulang sekolah ku jalan kan rutinitasku
seperti biasanya. Tiba tiba mataku tergoda untuk melihat lipatan kertas putih
yang berada di gudang. Ku ambil lalu kubuka lipatan kertas itu.
“aku kah ini ?” tanyaku pada diri sendiri
dengan mata yang berkaca – kaca. “Sepolos ini kah aku dahulu? Aku rindu kisah
dahulu, hidup tanpa berfikir apa yang akan terjadi esok, tak peduli dengan segala kejamnya dunia yang akan terjadi,
bahkan mungkin aku tak akan hidup dalam tanda tanya seperti ini.” Aku terus
menanggis , hingga senja pun datang menghampiri. Ingin kucurahkan segala tanya
yang ada dalam hidupku. Aku tak mengerti , sampai kapan aku akan terus seperti
ini. Terkadang aku iri, melihat yang lain bahagia. Bersanding dengan ayah ,
ibu. Sedangkan aku ? Memiliki ayah dan ibu yang tak bersanding dengan ku. Aku
tak pernah melihat sosok ayah, ia telah pergi untuk selamanya meninggalkanku
sendiri bersamaan dengan kakak laki – laki ku yang belum pernah ku lihat
wajahnya, bahkan sekedar melihat di foto pun aku tak pernah. Sedangkan ibu,
ialah satu – satunya orang yang paling aku cintai, tapi beliau tak pernah
menunjukkan rasa sayangnya sedikitpun terhadapku, meski tinggal dalam satu atap
kini kami bagaikan tinggal di lain benua tanpa ada alat komunikasi. Aku ingin
merasakan canda tawa dalam keluarga, aku rindu belaian ibu saat aku menanggis
merengek sewaktu kecil, aku rindu pelukan mereka saat aku merasa kedinginan.
Ingin ku ulang kembali masa – masa itu, masa – masa indah bersama mereka.
Bahkan aku rela tak merasakan indahnya masa remaja. Masa yang katanya paling
menyenangkan, masa- masa emas yang hanya dapat dirasakan seumur hidup, namun
tidak bagiku.
“Sudahlah ica, percuma kau menanggis,
merengek seperti anak kecil. Terima kenyataan.”kata hatiku memenangkanku “Tapi
apa salahku? Mengapa aku harus seperti ini ? bahkan kehadiranku di sini tak
pernah ada yang menginginkan. Kini aku pun tak dianggap. Sehina apakah aku?
Sampai orang - orang tak mempedulikanku ?” aku tersimpuh, tak mampu menahan
pertanyaan - pertanyaan itu.
Aku tau aku memang masih terlalu manja untuk
menghadapi semua ini. Bahkan aku tak pernah mengerti akan semua ini. Aku berusaha
bangkit dan keluar dari gudang dan
segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan air mataku, aku tak ingin
terlihat cengeng. Sebenarnya aku tak perlu takut akan ada yang melihat ku
menangis, karna memang tak kan ada yang memperhatikanku . Lagi pula jika ada
yang tau aku menangis tetap tak kan ada yang mempedulikanku. Mungkin justru
akan mentertawakanku. Sesampainya di kamar tak sengaja aku melihat kalender
yang tertempel di dinding kamarku.
“ 12 September, dua hari lagi ibuku ulang
tahun. Apa yang akan kulakukan ?” tanyaku dalam hati. “Kado apa yang pantas aku
berikan untuk ibuku ? ” aku termenung memikirkan kado apa yang akan aku berikan
kepada ibuku. Aku fikir gamis adalah pilihan yang tepat , dan aku rasa tabungan
ku cukup untuk membeli gamis dan bahan untuk membuatkan kue ulang tahun ibuku .
Segera ku buka tabunganku yang berada dalam
celengan ayam yang sudah satu semester ku kumpulkan dari hasil jerih payahku
sendiri. Mataku berbinar – binar melihat lembaran – lembaran uang kertas yang
kini berserakan di lantai kamarku. Segera ku hitung uang yang berada di
depanku. Aku tersenyum puas melihat hasil hitunganku.
“ 455 ribu, ini lebih dari cukup ,untuk
sebuah baju gamis ,kue ulang tahun dan mungkin aku masih mampu membeli novel
kesukaanku.” Aku segera membayangkan apa yang akan kulakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar